PUISI – PUISI MOCH SATRIO WELANG

Moch Satrio Welang

BURUNG – BURUNG DI LANGIT MERAH

sepanjang jazirah
apa arti tubuh ini?

saat kematian tak berjarak lagi

kita lahir di gurun yang begitu dingin
seorang anak tergeletak
matanya legam
hatinya menghitam

burung – burung riuh terbang 

membawa kabar peperangan

barisan orang-orang terhunus
menunggu pertolongan

anak itu meronta
tanahnya direbut paksa

ia terusir dari tubuhnya sendiri

sepanjang sejarah
ia bertanya
seperti apa wajah keadilan? 


langit gaduh bergemuruh
menghancurkan peluk ayah
yang lepas seketika

seorang Ibu berlari 

menggenggam doa di dada
membagikannya pada
siapa saja tersisa

ia pun lebur

tak mampu lewati malam
burung-burung
riuh bertubrukan

di langit yang memerah
mereka yang riang bermain 

kini tak terlihat lagi

mereka yang berjuang
menuju jalanmu
telah kau berangkatkan 


burung-burung merah

riuh bertubrukkan 

di langit yang menghitam

anak itu berteriak lantang

“kami tak pernah tumbuh!
sebentar lagi
kami terbunuh!”

di reruntuhan, ia tulis nama ibu
yang lebih dulu meninggalkannya

di puing-puing, ia catat nama ayah
yang pernah memeluknya

di batu-batu, ia gurat nama Malaikat
yang datang menjemputnya

2023


Moch Satrio Welang

SURAT KEMATIAN SENIMAN

kuhitung hari petaka yang sia-sia
kita orang-orang masa depan
malu dan telanjang

lelaki tua itu datang
menanam selembar puisi
di kepalaku yang terpenggal amarah
ia kekuatan kata
terbentur, mati, hidup berkali-kali
dan sejarah mencatatnya

negeri ini dongeng satir anak-anak lapar
yang berpelukan agar bisa melewati hari

lihat matahari yang digerogoti usia
dan mimpi buruk itu
memberangus para buruh
yang bernyanyi sumbang
tak berani pulang,
tak berani menatap mata anak
dan istrinya sendiri

inikah kemerdekaan?
yang berserak di jalanan
disapu seorang renta
menatap langit merah
doa istrinya bersemayam

seorang ibu menatapku semarah itu
ia tak punya bendera lagi
anak-anaknya bergumam demam
diburu nafas yang membunuhnya

lelaki tua itu datang lagi
memberi semangkuk airmata
untukku yang dahaga

kini ia sudah merdeka
“bendera setengah tiang itu
lusuh pilu
mengiring kepergianmu”

lelaki tua itu, dari selembar puisinya
terdengar derap ribuan kuda
dalam kemegahan kata
dan kedalaman puisi
menembus tubuhku
yang mati berkali-kali

Moch Satrio Welang 

SURAT YANG TAK PERNAH KAUBACA

Aku tak mampu lagi meributkan metafora
saat sepeda ibu menggelincir parkir 
yang terlindas pertanyaan
             “Berapa gelas sisa beras?”

Kutatap langit dengan berani
dengan surat yang kugenggam erat
Di bumi yang begitu luas dan dingin ini
kuziarahi tubuhmu, kugali-gali 

Kalau saja tak kukunjungi kepalamu
tentu puisiku tak akan mati 

Di jalanan, aku berguru pada trotoar 
bisik kekasih yang minta
disetubuhi berkali-kali

Aku tidur di bawah langit 
yang telah dihilangkan
yang doanya sederas hujan
disuguhkan gugusan awan
Seorang penguasa mengayuh masa lalu
menuju lima puluh, enam puluh lalu mati
tak mampu memungut napasnya sendiri
yang berserak di jalanan
Orang-orang lapar. Orang-orang kehilangan.

Lalu kubaca surat ini
kutunjukkan pada Matahari! 

Di musim dingin keji
ular-ular mendesis melilit mati
peradaban tumbang
bergemuruh runtuh
ditelan teriakan anak-anak
yang tegak tertembak
sebab kau nyala api!
sebab kau nyala api!

Biar kuasah kata-kata
menjadi keris yang menusuk
halaman pertama koran-koran 
merobek manusia dan kerakusan

            Denpasar, 28 Oktober 2023

Moch Satrio Welang


NEGERI PUISI

Negeri ini dibangun dari petani-petani
yang meramu tanah
menanam bibit matahari

           Negeri ini dibangun dari kayu-kayu perahu
           nelayan-nelayan menerjang gelombang 

           menangkap ikan-ikan dan masa depan

           Negeri ini dibangun dari luka-luka
           perang demi perang
           sejengkal tanah merdeka

Negeri ini dibangun dari doa-doa
para ibu yang menitipkan bulan
di mata anak-anaknya

           Negeri ini dibangun para ayah  
           yang mendayung air mata
           sedari subuh mengayuh peluh
           menjahit napas demi napas  
           agar anak-anaknya selalu terjaga  

           Negeri ini dibangun dari seribu candi 
           instalasi seni
           bara pemuda raya
           yang menyala!
           yang menyala!

           2023

Moch Satrio Welang

SEGENGGAM DOA UNTUK PENYAIR

Kukunjungi kau di segenggam doa yang hampir mati
Berlayar di sajakmu yang samudra raya
Kau gunting hari-hari getir
Membara di kertas-kertas puisi

O, Penyair, kau lahir di Rahim yang salah
Semurka Tuhan, dan sederet Malaikat
Kata-kata tak mampu selamatkan
perahumu sendiri?

Tenggelam dalam tepuk tangan orang-orang
mereka telah pulang
mereka telah pulang

Seorang penampil terseok
topeng kayunya retak
Panggung kian remang
begitu dingin dan kosong

Dari lilin di tangan,  
ditemui diri tersuruk renta
Kata-kata yang dibela,
sepanjang ia bisa mengingat,
meliuk liar

Seorang penyair memeluk bayang sendiri
Erat sesenggukan, saling merindu
akan kata-kata
yang menolong hatinya

2024

Moch Satrio Welang

BIAR KUPILIH INGATANKU TENTANGMU

Malam kita di taman rahasia
bersenandung burung dan ilalang
Di matamu semesta tercipta
Biar kubeli masa lalu
Biar kuperbaiki

Aku lumpuh di tiap baris puisimu
Wajah legam terbakar mimpi
Kita pernah bersandar di dermaga yang sama
Kita pernah memahat luka
Di jembatan, burung-burung kolibri menanti pulang matahari

Kita memang mati sendiri
hidup pun sendiri
Entah di pertemuan rahasia mana
di peristiwa mana
Biar kupilih sendiri
ingatanku tentangmu

TENTANG PENULIS

MOCH SATRIO WELANG 

adalah aktor teater, penyair, yang lahir di Surabaya, 14 April 1982. Bergabung pertama kali di Teater Orok Universitas Udayana (2003), berproses kreatif bersama Kelompok 108 pimpinan Giri Ratomo (2004). Tahun 2009 ia mendirikan penerbit Sastra Welang Pustaka yang disusul setahun kemudian dengan berdirinya Teater Sastra Welang (2010). Menggagas Sawma Awards (Sastra Welang Monologue Awards), berupa anugerah seni untuk pelaku teater di Bali. Menggagas Sawtaka Nayyotama Awards dan Siwa Nataraja Literary Awards yakni sayembara tahunan cipta cerpen dan puisi se-Indonesia. Menerima penghargaan Aktor Terbaik 2010 dalam ajang Gelar Teater La Jose. Tampil dalam pentas drama, monolog, performing art dan pembacaan puisi di acara-acara sastra dan budaya.

Klik di sini untuk membagikan artikel ini!

Share on facebook
Share on Facebook
Share on twitter
Share on Twitter
Share on linkedin
Share on Linkdin
Share on pinterest
Share on Pinterest

Berikan komentar atau tanggapan Anda di bawah!

Kabar Berita Selanjutnya