
Ilustrasi: Gemini
BURUNG BERSARANG DALAM DUKANA YANG LAMA MENGEMBARA
Tak ada pintu dalam tubuhmu
hanya celah sempit
yang dibuka dengan bisikan
seperti gesekan kaca
di gedung yang ‘kan diledakkan.
Ya, semalam kita bercinta
marahku dari tahun-tahun bahaya
terempas. Kita beradu
tanpa suara
berdenyut dalam gelap
seirama degup penuh rahasia.
“Ini hanya samsara yang kau tuang
dengan sengaja.
Bukan cinta sepenuh cinta,”
Kutelusuri lehermu
saat dunia tertidur
seperti mencari hari-hari
yang tenggelam dalam
kota dan lahirkan duka
untuk mereka.
Tapi kita tak sungguh telanjang,
selalu ada yang ikut:
bayang-bayang yang tak bisa
ditinggalkan,
ancaman dosa dari dogma,
dan seekor burung bersarang
dalam dukana yang lama
mengembara.
***
MENCARI NAEDA
: Rifki Syarani
Satu orang atau, dua orang atau,
yeah! Apalah jumlah!
Berjalan di antara pohon mati
melangkah di atas orang mati.
Tapi apalah mati!
Cuma kata; dua suku kata,
Cuma apa yang kita sangka!
Pohon mati di jaring laba-laba.
Pohon kering hampir mati
dalam kuasa mata malaikat biru.
Tapi tak ada Naeda di sana
juga tak ada Naeda di sini
tak ada Naeda di pil ekstasi
tak ada Naeda di clozapine
atau semua wajah adalah Naeda,
yang kita citrakan selama insomnia
kita imajikan di coretan vandal
kita ilusikan sepanjang demam,
demam ditiup burung bingung
ubun-ubun kita, demam ditempel
tangan demonstran ke tubuh kita.
Yeah!
Nyamuk dan peluru
yang menembus mulut Kurt
mencari Naeda. Tapi apalah Naeda
cuma hantu berasal dari permainan warna.
***
SETELAH KITA USAI i
Bintang jatuh,
tahun-tahun rubuh. Buku usang,
frasa yang kusangsikan
terbang membangun tubuhnya
di kota jauh,
sendiri. Cinta kita
usai di fajar memancar
menyanyikan gegap gempita,
di antara orang lapar,
di antara teori massa
dan aksi duka.
Kutanggung, ingatan yang kau
tinggalkan, sejenak
aku mati di nyala matahari,
tapi pagi menyusun lagi
kalimat dan khayal,
lewati sabarku yang memukau,
lewati jalan melingkar
menuju masa lalu.
***
SELAMAT TINGGAL
Kutinggalkan bentang-pandang ini:
pohon pertama tumbuh di sela
batu selalu tidur; himpun debu
di keheningan fajar hari; kebeningan
air menyimpan kerikil taat zikir.
Langkahku menjauh, suaraku gaduh
kumasukkan ke ransel menyimpan dendam
pada moyang dan masyarakatku
yang dungu, barbar, kehilangan gairah
pada kehidupan telanjang, lapis misteri
di balik tanah merah dan api.
Angin utara membimbingku, menuntunku
menyusuri pantai dengan cahaya
menggoda, membawaku ke kota para
pemabuk yang dikutuki burung kesepian.
Seribu kera bermata nyala hamparkan
peta malam dan kebebasannya
dan jejak para Gipsy memberiku tanda
‘tuk telusuri petualangan memesona.
Aku tak akan kembali. Kuhalau adegan
masa lalu yang selalu menghadangku.
Dengan lapar dan kemiskinan gemilang
kuucap “selamat tinggal” pada mereka.
***
PUJA MALAM
Malamku yang anggun
kupuja dengan botol kosong
sekosong laparku menjangkau langit
menyentuh bintang mirach
dan tuhan Feminin.
Dalam gigil tiang listrik
kusingkap gaunmu yang lembab
dukaku berbiak sesak di kota-
kota kasar sebuah negara barbar.
O, kekasih orang lelap!
Kau sembunyikan tumpukan
gedung yang bikin mataku ngilu,
hutan dan gunung perlahan
pendar mewujud latar
mimpi yang dibelai hantu uzur.
Aku dalam kuasamu.
keperkasaan tumbang
saat artileri gaib bangkit
dari sayap roh kelelawar.
Kawanku anjing hitam
melompat dari kawah bulan
mencuri sepotong roti berwajah nabi
dan kami berbagi kemiskinan
di dunia yang hijau.
Tapi aku tak hendak bunuh diri
meski putus asa selalu datang
penuh di balik punggungmu.

Biodata
Kim Al Ghozali AM lahir di Probolinggo dan memulai proses kreatifnya di Bali dalam pergaulan sastra di Jatijagat Kampung Puisi. Kini ia menetap di Surabaya. Buku terbarunya: Setelah Deru Paku dan Palu (JBS, 2025)


