
Ilustrasi: Gemini
Bonk Ava
DE BELOG
Malam hari udara sangat dingin, aku mengenakan baju rangkap dua, di depan mobil terlihat hanya kabut, mobil mesti melaju pelan-pelan, meskipun lampu mobil telah dinyalakan, belum tentu melihat ada aktifitas di depan. Muncul cahaya dari arah berlawanan, suara deru mesin semakin mendekat, lalu terdengar bunyi klakson, mobil yang kutumpangi membalas suara klakson tersebut, sebuah mobil pick up melintas, hingga mobil yang aku tumpangi berhasil melewati kabut, melaju pelan-pelan berbelok ke kanan menuruni jalan yang berliku, seperti berkendara di atas badan ular yang meliuk-liuk.
Kepulanganku hari ini adalah dalam rangka melayat, kerabat yang meninggal adalah teman masa kecilku. Aku memanggilnya De Belog, ia anak laki-laki semata wayang, keluarganya memanjakan dia, pernah tinggal kelas dua kali sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Mestinya aku memanggilnya dia om, karena dia anak dari adik nenekku, karena umur kami sama, aku memanggil dia dengan nama kecilnya, sama seperti aku memanggil nama kecil kepada teman-temanku.
Ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama, dia pernah minggat selama seminggu, karena bertengkar dengan ayahnya. Ayahnya tidak suka De Belog yang hobbynya hanya bermain game online, tak pernah belajar, dan tak mau diatur.
Ibunya menelponku untuk mencari De Belog, semua rumah teman kudatangi, menanyakan keberadaan De Belog, sampai seminggu aku tanya kawan sani-sini, hasilnya nihil.
Di suatu tengah malam buta, di saat orang tua De Belog dan sanak saudara tertidur pulas, aku melihat sesosok bayangan menyelinap pelan-pelan, menyusup seperti seorang maling. Jam menunjukkan 3 dini hari, mungkin mataku sudah lelah, aku berpikir aku mengalami halusinasi. Kutarik selimut hingga menutupi kepala, semua terasa gelap, hingga badanku terguncang pelan, di depanku berdiri Ibu De Belog, “Pulang, De Belog sudah pulang.” Ujarnya.
Setelah De Belog lulus Sekolah Menengah Atas, orang tuanya memutuskan untuk tinggal di kampung halaman, tapi De Belog lebih memilih tinggal di kota, orangtuanya mengijinkan, asal De Belog harus kuliah. De Belog bingung, sebab dia tidak pernah merencanakan masa depannya, kesehariannya hanya bermain game, nongkrong bersama teman-temannya, mabuk-mabukan, touring menggunakan motor modifnya. Atas saran orang tuanya De Belog kuliah di Universitas Agama Hindu Jurusan Filsafat. Ayahnya berharap De Belog lebih rajin belajar, jadi orang pintar. Usut punya usut ayah De Belog meminta saran pada orang pintar, seorang tokoh di kampung, kelak De Belog jika sudah selesai kuliahnya dia akan jadi pendeta dan orang pintar, menjadi panutan, tokoh yang bijak dan disegani warga desa.
De Belog mengikuti saran ayahnya, agar dia tetap tinggal di kota, dia mengawali kuliahnya dengan membeli buku filsafat dan novel tebal, buku filsafat terlalu berat untuk seorang yang mulai ingin membaca dengan serius, kusarankan mulai dengan novel-novel tipis dan karya sastra yang ringan seperti novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarden.
Dia semakin rajin pergi ke perpustakaan, membuat kartu anggota, agar bisa meminjam buku. Rumah yang rencananya akan dijual oleh orang tuanya, mulai penuh terisi dengan tumpukkan buku.
De Belog sering menghadiri kegiatan sastra dan kesenian, mendirikan komunitas sastra. Aku juga menyukai sastra, namun aku tak seberuntung De Belog yang disuport oleh keluarganya, keinginanku ingin kuliah di sekolah seni pupus, sebab keluargaku tak mampu menyekolahkan aku di sekolah seni. Aku memutuskan untuk bekerja, gaji yang kudapatkan kupergunakan membeli buku dan alat-alat melukis, aku berjuang untuk menjadi seniman, meskipun belum mendapatkan pengakuan, tapi aku sering membantu anak-anak muda yang bergelut di dunia kesenian termasuk De Belog.
Setiap hari De Belog begadang, berkutat dengan buku, sehari bisa melahap satu buku setebal 200 halaman, kegiatannya semakin padat, selain nongkrong dan mabuk, dia menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Sering mengadakan acara diskusi, berdebat dan berantem sesama teman kuliah, wara-wiri di acara kesenian, mengkritik acara kesenian yang tidak sesuai dengan harapannya, atau pementasan yang biasa-biasa saja. Hal yang paling disukainya adalah menghadiri acara diskusi, selalu paling awal mengacungkan jarinya jika ada kesempatan tanya jawab, dia mengeluarkan unek-uneknya, berdebat bersama pemateri atau audiens, meskipun dia selalu kalah dalam adu argumen, tak masalah baginya, dia puas dengan apa yang dia suarakan, yang penting baginya adalah menyuarakan apa yang terlintas di benaknya.
“Kenapa tidak kau tuangkan ide-idemu ke dalam tulisan?” Saranku padanya. Bagiku dia terlalu banyak ngoceh, apalagi dalam keadaan mabuk, selama tiga tahun kuliahnya belum menghasilkan karya apapun, baik itu esai maupun cerpen atau novel seperti yang di koar-koarkan tentang keinginannya membuat sebuah buku tentang kesenian kontemporer, dia hanya menunjukkan kecerdasannya dari bacaan, tanpa pengalaman. Dia selalu memberi solusi tanpa tahu pokok permasalahannya, tanpa turun langsung ke lapangan. Teman-temannya menganggapnya halu.
Kuliahnya terbengkalai, beberapa tugas tak pernah diselesaikannya, ia juga jarang kuliah, hal ini diketahui oleh ayahnya, De Belog diminta pulang ke kampung halamannya. Ia setuju untuk pulang kampung, karena rindu kampung halaman, rindu neneknya, rindu perhatian kerabat-kerabatnya. Namun perhatian yang dia inginkan, tak ia dapatkan, ia justru mendapatkan kejutan yang tak ia inginkan, kejutan ini seperti hukuman untuknya, ia akan dijodohkan dengan gadis sekampung yang masih kerabat dekat dengan keluarga.
“Saya tak suka dijodoh-jodohkan, pokoknya saya tak mau.”
“Karena kuliahmu nggak jelas, mending kamu segera menikah, daripada menghambur-hamburkan uang!”
“Saya nggak mau pa, kan kita berdua yang menentukan masa depan kita, bukan bapak dan ibu, kan nanti saya yang akan memberi makan anak orang, lagipula saya belum bekerja, dan saya belum siap menikah.”
“Nanti kan kamu cari kerja, menikah saja dulu, biaya bapak tanggung, kamu jangan terlalu banyak pikir.”
“Nggak segampang itu, pa! Pokoknya saya nggak mau.” De Belog lari ke kamarnya, membanting pintu, dia kemas-kemasi pakaiannya, kembali lagi ke kota. Namun De Belog dicegat oleh ayahnya.
“Mau kamu apa? Kuliah pun tak beres.”
“Saya kembali ke kota, pa.”
“Terserah kamu, jika kamu tak mau menikah, dan kembali ke kota, bapak tak akan lagi mengirimi uang bulanan, silahkan urus hidupmu sendiri.”
Merah muka De Belog menahan amarah, “Ok pa, saya akan mengurus hidupku sendiri, saya pamit.” Ibu De Belog menangis melihat pertengakan De Belog dengan ayahnya. Dia memeluk anaknya dan menyelipkan sejumlah uang ke kantong De Belog, De Belog terharu, begitu besar cinta ibu padanya, De Belog pergi berurai airmata.
De Belog tak lagi kuliah, dia berkutat pada buku, pergaulan kreatifnya semakin meluas, mulai bergaul dengan anak teater, bergaul dengan anak seni rupa. Untuk membiayai hidupnya, dia memutuskan bekerja dan mulai menulis, sebab dengan menulis dia dikenal orang lewat karyanya, dengan menulis dia akan abadi di dalam karya-karyanya.
De Belog memutuskan tak akan pernah pulang, sebab tak ingin jadi pendeta, belum ingin menikah seperti keinginan ayahnya. Dia ingin menyibukkan diri bekerja dan berkarya.
Hidupnya jadi ugal-ugalan, semakin sering minum alkohol, merokoknya semakin berat, hingga kesehatannnya menurun. Kepalanya terasa berat, pandangannya kabur, badannya gemetar.
Hari ke hari kehidupan De Belog semakin kacau, diam-diam kukabarkan pada ibunya, semakin khawatir dengan keadaan De Belog, dia merencanakan padaku agar De Belog mau pulang kampung.
Kuceritakan pada De Belog bahwa ibunya sakit, ibunya berpesan agar De Belog pulang kampung. De Belog meninggalkan rumah mengendarai sepeda motornya. Langit malam itu tertutup awan hitam pekat, sebentar lagi hujan, perasaanku jadi was-was.
Jalan dari penelokan menuju desa, jalan rawan kecelakaan, kiri kanan jalan terdapat jurang. Truk-truk bermuatan pasir dari gunung sering melintasi jalan menuju desa K, Gubernur sudah melarang mengambil pasir, bagaimana sopir truk itu berhasil melewati jalan desa K? Dan kembali dengan segunung pasir di bak truk? Truk-truk tersebut sering menyebabkan kemacetan, mereka berhenti ditengah jalan menanjak karena ban meletus, ada juga truk yang tak kuat melaju di jalan tanjakkan, menyebabkan truk itu nyungkling ke belakang. Jika melewati jalan desa K dan sebuah truk berada di depan harus disalip. Jika tidak, akan menjadi korban keganasan jalan menuju desa K.
Aku pernah mengalami kecelakaan di jalan tersebut, ketika itu aku pulang kampung seorang diri naik motor bebek berwarna biru yang di belikan ibuku, entah apa yang merasuki motor bebek tersebut, gas motor tiba-tiba kencang, tikungan di depan mata, rem tangan kutekan sekencang-kencangnya, rem kaki kuinjak sekuat kuatnya, kaki kiriku kutekankan ke aspal jalan guna menahan laju motor.
Namun naas, motor menabrak pembatas jalan, seorang perempuan melintas didepanku mengendarai motor matic hanya tersenyum melihatku, tanpa mau berhenti untuk menolong. Beruntung ada seseorang berhenti di depanku, dibangunkan motorku olehnya, stang motor bengkok, ditawari aku menggunakan sepeda motornya, ia menggunakan motor bebekku. Beruntung ada pembatas jalan, kalau tidak aku sudah masuk jurang, dan nyawaku tidak tertolong. Sampai dirumah, kukabarkan kepada ayah ibu, diperiksa tubuhku, hanya lecet lutut kaki kanan, ibuku tersedu, dicarikan obat untukku, kemudian dia membuat banten kecil untuk dihaturkan ditempat aku mengalami kecelakaan.
Entah berapa jam lamanya aku tertidur, perasaan baru sebentar saja, handphoneku berbunyi terus, telepon dari Ibu De Belog. Kulihat di dinding, jam menunjukkan 12 malam, dengan terbata-bata Ibu De Belog berusaha mengeluarkan kata-katanya, “Nek kenapa, nek?” Rasa penasaranku tak bisa kutahan, aku bangkit, mondar-mandir menunggu kata-kata dari Ibu De Belog, sementara di ujung sana hanya suara tangisan sesenggukan ditimpali suara riuh orang ramai, lalu kesepian menyelimutiku, aku merasakan kehilangan.
Orang-orang sudah ramai berkumpul di rumah duka, terlihat ibu-ibu mengobrol, ada yang mengenang saat suka duka bersama De Belog, mereka bercerita bahwa De Belog sebenarnya adalah anak yang baik, kenakalan-kenakalan yang pernah diperbuat adalah kenakalan-kenakalan anak-anak pada umumnya, mereka mengakui bahwa anak laki-laki mereka juga melakukan kenakalan yang sama seperti dilakukan oleh De Belog. Beberapa ibu ada yang menghangatkan air untuk menyeduh kopi, ada yang mengaduk gelas kopi di atas nampan siap untuk disajikan, sementara para lelaki megeluarkan golok yang dibawanya, ada yang memotong ayam, membuat base genep, membuat sate untuk makan bersama, ada yang menyeruput kopi, melahap jajanan khas Bali, ada yang memotong papan triplek, ada yang memotong kain untuk keranda, ada pula yang menuangkan arak dan bir untuk para lelaki yang datang melayat.
Aku duduk termangu, sedih kehilangan seorang sahabat dan saudara, tak banyak yang bisa kuperbuat untuk keperluan pengantaran ke tempat istirahat terakhirnya. Aku hanya mengamati warga desa mempersiapkan sesuatu untuk kepulangan De Belog ke tempat istirahatnya, kulihat nenek tak henti mengeluarkan airmata membasahi pipinya, ia berulang kali menghapus airmata dengan selendang yang dia lingkarkan di lehernya. Sementara Ayah De Belog yang selalu dengan muka serius, terlihat membatu, tiba-tiba bibirnya bergetar, lalu meneteskan air mata.
Keranda sudah selesai dibuat, salah satu dari kerabat, yang dipercayai memimpin keluarga, memberi informasi kepada warga desa untuk makan bersama, sebab masakan sudah siap disajikan. Di desa K, jika ada acara menyama braya, waktu makan bersama, kaum laki-laki terlebih dahulu makan, lalu dilanjutkan dengan kaum perempuan. Warga pun riuh berdiri untuk mengambil makanan. Ada yang masih bertahan di tempat duduknya, tak ingin kehilangan obrolan, ada yang canggung sebab bukan dari keluarga besar, ada yang memberikan air minum kepada warga yang sedang makan, ada yang menuangkan kuah sayur ke dalam mangkuk untuk diberikan kepada warga desa.
Aku menuju tempat makan, tak jauh dari kamar di mana jasad De Belog dibaringkan. Ibu De Belog tampak begitu pucat, lelah menangis sepanjang hari, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha menguatkan hatinya. Di dalam kamar De Belog orang keluar masuk sekadar melihat jasad De belog, atau memberikan sumbangan untuk kegiatan penguburan.
Di tengah hirup pikuk, rutinitas pagi itu, suara-suara membaur di tengah kerumunan, hingar bingar saling berbenturan. Ada yang bergosip, ada yang membuat sarana upacara, ada yang memotong bambu, ada yang memasak dan membuat kopi. Semua suara itu menciptakan harmoni di tengah perbedaaan karakter manusia.
Hingga terdengar suara histeris dari dalam rumah, orang-orang menghentikan aktifitasnya, mencari sumber suara itu, ada yang berlarian masuk kedalam rumah. Suara itu berasal dari kamar De Belog, lalu mereka masuk dan keluar lagi dengan raut muka ketakutan, Ibu De Belog menangis histeris.
Tiba-tiba De Belog keluar dari kamarnya, kain menutupi kemaluan. Dia tampak bingung. Seperti sedang berpikir apa yang sedang menimpa dirinya, tubuhnya yang penuh luka karena tabrakan begitu jelas terlihat.
Kemudian dia menatap ke arahku. Diam, mematung. Bola matanya membesar, mengerikan dan menakutkan, seperti mengutukiku.
Biodata Penulis:

Bonk AVA adalah nama pena dari Putu Sumadana, lahir di Denpasar, 27 Juli 1987. Puisi dan esainya dimuat di sejumlah media masa. Dan puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, antara lain : “Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta”, “Mengunyah Geram”, “Saron”, “semesta jiwa”. Antologi puisi tunggalnya “Roda Musim” telah terbit tahun 2023. Selain menulis, ia juga melukis. Beberapa pameran bersama telah diikutinya, antara lain : Pameran Virtual dari Komunitas Perupa Tasikmalaya “ Melawan Corona” (2020), Pameran Bertajuk “Silang Sengkarut” (2022) dan pameran bersama bertajuk “EgalitArt” (2023) dari Yayasan Banjar Global Nusantara. Beberapa kali diundang dalam acara melukis bersama seperti acara “Serupa” (2021) yang diselenggarakan oleh Jatijagat Kehidupan Puisi dan beberapa event melukis bersama atau mural pernah diikuti. Kini bermukim di Bali.
No. WA : 08970549799
Alamat Email : bonkava25@gmail.com
Akun Instagram : @bonk.ava
Facebook : Bonk Ava


