Ni Komang Ari Pebriyani: Menyulam Lontar dan Cerita Anak di Tengah Zaman Digital

DENPASAR, Teatersastrawelang.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan gempuran budaya populer, nama Ni Komang Ari Pebriyani muncul sebagai sosok yang dengan tekun menenun kembali benang‐benang tradisi Bali ke dalam bentuk yang segar dan akrab bagi generasi muda. Ia bukan hanya penulis, tetapi juga penjaga nilai – menghidupkan kembali kisah dan kearifan dalam naskah lontar melalui buku cerita anak dan karya audiovisual.

Perempuan asal Bali ini dikenal aktif dalam dunia literasi dan kebudayaan. Sejak tahun 2023, ia terpilih sebagai salah satu penulis buku cerita anak Balai Bahasa Provinsi Bali — program yang bertujuan memperkaya bacaan anak Indonesia dengan cerita berakar pada budaya lokal. Selama tiga tahun berturut-turut, Komang Ari menulis cerita dengan nuansa khas Bali: Tek Tek Ketek Srueng (2023), Kesanga Festival (2024), dan Jeli dan Jelo (2025) yang saat ini masih dalam proses penerbitan.

Karya-karyanya tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga membawa pesan moral, nilai tradisi, serta filosofi hidup masyarakat Bali dalam bahasa yang ringan dan mudah dipahami anak-anak. Melalui tokoh-tokoh imajinatif, ia menanamkan pesan tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Tahun 2025 menjadi langkah penting lain dalam perjalanannya. Komang Ari dipercaya menulis naskah film anak “Satua Sang Rare” yang ditayangkan di TVRI dalam program Anak Indonesia. Film ini mengadaptasi kisah rakyat Bali dalam format yang menarik dan mendidik, membuktikan bahwa cerita tradisional masih memiliki daya hidup di tengah media modern.

Namun di balik kiprah kreatifnya, ada satu dunia yang begitu dekat di hati Komang Ari — dunia lontar, naskah kuno Bali yang ditulis di atas daun lontar dengan aksara Bali. Bagi banyak orang, lontar hanyalah peninggalan masa lalu yang tersimpan di museum atau pura. Tetapi bagi Komang Ari, lontar adalah “tulang punggung kebudayaan Bali”, tempat tersimpannya pengetahuan, nilai, dan filosofi yang membentuk identitas masyarakatnya.

“Lontar itu seperti cermin. Di dalamnya ada cara berpikir, berdoa, dan bermimpi orang Bali sejak berabad-abad lalu,” ungkapnya dalam satu kesempatan. Karena itu, ia berusaha membawa semangat lontar ke dunia modern—menyampaikannya kembali dalam bentuk yang bisa dijangkau anak-anak, baik lewat buku, film, maupun kegiatan literasi di sekolah.

Di tengah perubahan zaman, Komang Ari percaya bahwa pelestarian budaya tak harus berarti kembali ke masa lalu. Justru sebaliknya, budaya bisa tumbuh dan hidup jika dihadirkan dengan cara baru. Ia melihat anak-anak bukan sekadar pembaca, tetapi penerus yang akan menentukan apakah cerita dan nilai-nilai lokal akan terus hidup atau hilang ditelan arus global.

Melalui tulisannya, Komang Ari menjembatani dua dunia: tradisi dan modernitas, lokal dan global. Ia meyakini bahwa literasi anak yang berakar pada budaya mampu memperkuat jati diri bangsa sejak dini. “Kalau anak-anak bisa mencintai kisah dari tanahnya sendiri, mereka akan tumbuh dengan akar yang kuat,” ujarnya.

Kini, dengan proyek Jeli dan Jelo yang segera terbit, serta rencana untuk terus menggali naskah-naskah lontar yang belum banyak dikenal, Ni Komang Ari Pebriyani menunjukkan bahwa cerita tradisional masih punya napas panjang di tangan yang tepat. Dalam kesunyian naskah lontar, ia menemukan kehidupan baru — dan di mata anak-anak, kisah-kisah itu kembali bersinar.

Klik di sini untuk membagikan artikel ini!

Share on facebook
Share on Facebook
Share on twitter
Share on Twitter
Share on linkedin
Share on Linkdin
Share on pinterest
Share on Pinterest

Berikan komentar atau tanggapan Anda di bawah!

Kabar Berita Selanjutnya