
DENPASAR – Teatersastrawelang.com — Dalam lanskap komik dan karya visual Indonesia, nama Suma Bagia dikenal sebagai salah satu kreator yang terus menjaga nyala imajinasinya. Sejak merilis karya perdananya Bhurloka (2014–2020), Suma telah menapaki perjalanan panjang dalam membangun dunia cerita yang penuh simbol, filosofi, dan emosi manusia. Setiap karyanya seolah mengundang pembaca untuk masuk ke ruang sunyi yang penuh teka-teki, tempat antara realitas dan fantasi menyatu menjadi satu kesadaran.
Melalui judul-judul seperti Bhurloka Mata Indriya Kecil (2019), Creator’s Nightmares (2018), Kandasastra (2023), dan Oneshot: Hari Ini Aku Akan ke Psikolog (2024), Suma memperlihatkan kedewasaan artistik dalam menangani tema-tema pencarian, perjalanan, dan misteri. Ia tak sekadar menghadirkan kisah untuk dibaca, melainkan pengalaman visual yang mengajak pembaca menyelami lapisan-lapisan batin manusia.
“Membuat cerita yang menarik dan menerjemahkannya ke dalam sekuens lewat storyboard sangat menantang,” ujar Suma. Baginya, proses menciptakan komik bukan hanya tentang menggambar, tetapi tentang menyusun ritme, ketegangan, dan rasa, sehingga setiap panel berbicara dengan caranya sendiri. Di situlah letak kekuatan karya Suma: pada kesabaran dan ketepatan dalam menata bahasa visual agar selaras dengan kedalaman cerita.
Genre yang ia tekuni — fantasi, horor, drama, dan misteri — menjadi ruang bebas untuk mengeksplorasi berbagai sisi manusia: rasa takut, kehilangan, harapan, dan makna hidup. Dalam Creator’s Nightmares, misalnya, Suma menyingkap hubungan antara mimpi dan trauma; sementara di Kandasastra, ia memadukan unsur sastra dengan refleksi spiritual, membangun kisah yang berada di ambang antara dunia nyata dan dunia ide.

Inspirasi Suma tidak datang dari satu sumber tunggal. Ia menyerap dari berbagai tradisi dan karya lintas budaya. Dari dunia Barat, ia menaruh kekaguman pada Neil Gaiman melalui The Sandman, karya yang membuka pandangan tentang bagaimana mitologi dan psikologi dapat berpadu dalam bentuk komik. Dari Jepang, pengaruh Death Note dan Vagabondtampak dalam cara Suma membangun konflik batin dan penggambaran visual yang atmosferik. Sementara dari Indonesia, ia mengakui kekuatan karya Sweta Kartika dan Wanoja karya Fauzi Zulfikar, yang membuktikan bahwa komik lokal mampu berbicara dengan bahasa dan roh yang khas Nusantara.
Dengan akar dan sayap yang sama kuatnya, Suma Bagia kini menjadi representasi generasi kreator visual yang tidak hanya bekerja di ranah hiburan, tetapi juga di ranah eksperimen naratif dan estetika. Setiap karyanya membawa semangat pencarian — bukan hanya terhadap makna cerita, tetapi juga terhadap bentuk dan medium itu sendiri.
Melalui perjalanan yang telah ia tempuh selama lebih dari satu dekade, Suma Bagia membuktikan bahwa dunia komik Indonesia memiliki ruang luas untuk tumbuh dan berdialog dengan dunia. Dalam setiap garis dan bayangan, ia menanamkan keyakinan bahwa misteri bukan sesuatu untuk ditakuti, melainkan jalan menuju pemahaman diri dan kemanusiaan.


