
DENPASAR, Teatersastrawelang.com – Para penyair dari seluruh nusantara berkumpul, membawa denyut nadi kehidupan dalam bait-bait puisi mereka. Di ruang yang penuh makna, mereka saling bertegur sapa, bukan hanya dengan suara, melainkan juga dengan jiwa yang telah menjelma menjadi sajak. Dan ketika kata-kata itu dihidupkan oleh seorang Fanny J. Poyk, ia menjadi sebuah perayaan bagi semesta. Dalam Temu Penyair Nusantara 2025 di Jakarta yang baru saja usai, tepuk tangan riuh yang mengiringi pembacaan puisinya yang bukan sekadar apresiasi, melainkan pengakuan bahwa sastra tidak pernah mati, melainkan terus berdenyut dalam setiap tarikan napasnya. Untuk menyelami lebih dalam pemikiran dan perjalanan kreatifnya, Teater Sastra Welang berkesempatan berbincang langsung dengan salah satu sastrawan paling gigih di Indonesia ini. Dalam wawancara ini, ia memberi bara api, semangat yang terus menyala dalam jiwanya untuk berkarya.
TSW : Dari sekian banyak karya yang sudah Mbak tulis, manakah yang paling berkesan dan mengapa?
FJP : Hampir semua karya saya suka, satu yang paling berkenan adalah novel biografi anak-anak saya yang berkisah tentang masa kecil di Bali, judulnya “Pelangi di Langit Bali”.
TSW : Bisa diceritakan bagaimana awal mula kecintaan Mbak pada dunia sastra? Adakah sosok atau buku yang menjadi inspirasi pertama?
FJP : Kecintaan saya pada dunia sastra muncul tanpa disadari, yang diawali dengan kerap berkhayal. Ketika SMP di Dwijendra, saya mulai menulis puisi yang dimuat di Koran Sinar Harapan pada 1973. Setelah itu mulai menulis cerita anak-anak dan cerpen remaja yang kemudian dimuat di berbagai koran Ibu Kota. Yang membuat saya terinspirasi untuk menulis adalah sejak kecil saya suka membaca kisah-kisah pewayangan seperti Mahabharata dan serial silat Kho Ping Ho. Kebetulan di dekat rumah saya di Banjar Batanpoh Sanur ada kios buku, jadi saya baca buku-buku di sana sampai habis. Saya sangat suka membaca.
TSW : Di era Mbak, proses kreatif seperti apa yang dijalani? Apa bedanya dengan penulis zaman sekarang yang serba digital?
FJP : Di era saya, proses kreatif berjalan apa adanya. Kala itu untuk membuat cerita bisa ditulis tangan atau dengan mesin ketik manual yang mereknya Royal. Semua serba manual. Kirim naskah pakai pos, ambil honor dengan wesel. Berbeda dengan zaman sekarang yang serba digital namun sekarang persaingan dan kualitas karya berdasarkan data kian diperhitungkan. Menulis cerpen, esai, artikel, tak hanya bersandar pada imajinasi saja, namun harus ada data seperti membuat thesis.
TSW : Apa tantangan terbesar yang Mbak hadapi selama berkarya?
FJP : Tantangan terbesar, banyak penulis muda bermunculan, karya mereka bagus-bagus. Jadi kita sebagai penulis lama harus siap bersaing dan mengeksplorasi segenap aspek kehidupan agar karya semakin berkualitas.
TSW : Apakah ada tren penulisan di era sekarang yang menurut Mbak menarik atau justru mengkhawatirkan?
FJP : Trend menulis sekarang muncul AI atau ChatGPT yang mudah pengerjaannya. Keadaan ini ada untung dan ruginya, untungnya mempermudah penulis di dalam menuangkan tulisan dengan penguasaan kosa kata yang banyak. Tidak baiknya penulisan dengan dua perangkat itu tidak membuat kualitas, kreativitas dan originalitas berkarya semakin bertumbuh. Khawatirnya jika itu terus terjadi maka akan mengikis rasa dan empati penulis terhadap kehidupan kemanusiaan itu sendiri.
TSW : Apa yang Mbak harapkan dari pembaca yang membaca karya-karya Mbak?
FJP : Karena saya lebih banyak menulis tentang kehidupan marginal, saya berharap pembaca tulisan saya lebih berempati dan bijak di dalam menghadapi kehidupan itu sendiri. Di luar kehidupan nyaman seseorang, ada zona menyedihkan dari kehidupan yang absurd ini.
TSW : Sastra seringkali diibaratkan sebagai cermin kehidupan. Menurut Mbak, hal-hal apa saja yang tidak boleh luput dari perhatian seorang sastrawan?
FJP : Seorang penulis sastra buat saya harus terjun ke lapangan dan melihat kehidupan nyata bahwa di dunia ini ada ragam penderitaan, problema kehidupan yang bisa diangkat menjadi cerita, dan untuk menggugah pembaca agar lebih berempati kepada kehidupan itu sendiri, serta membuat manusia tidak egois dengan pemikirannya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan SARA (Suku, Ras dan Agama). Isu perdamaian itu penting.
TSW : Setelah puluhan tahun berkarya, apa makna sastra bagi Mbak pribadi saat ini?
FJP : Makna sastra buat saya luas. Ketika kita membaca dan mencintai sastra, paling tidak ada sentuhan nurani agar kita selalu rendah hati, tidak sombong, dan memiliki jiwa untuk saling tolong-menolong. Kita diarahkan menjadi manusia yang tau menghargai manusia lain, serta memiliki manners di dalam bersikap.
TSW : Apakah Mbak punya pesan khusus untuk para penulis muda yang baru memulai perjalanan mereka di dunia sastra?
FJP : Nasihat saya teruslah menulis dan membaca beragam buku baik itu filsafat atau novel yang ditulis oleh para penulis berbobot, agar karya-karya kita juga berkualitas.
TWS : Selain menulis, apa hobi atau kegiatan lain yang biasa Mbak lakukan untuk mengisi waktu luang? Apakah ada kaitannya dengan proses kreatif Mbak?
FJP : Hobi baru saya melukis selain baca puisi, menyanyi, menjadi juri di berbagai lomba sastra baik di tingkat nasional dan daerah, menjadi nara sumber penulisan sastra dalam dan luar negeri, menjadi penulis biografi, bikin kue pesanan dan memasak.
(tws01)


