Puisi – Puisi Hartanto

Ilustrasi: Gemini

TEMBOK BESAR

Di tembok ini,

Batu batu berduka sepanjang peredaran

Waktu dan pergantian musim ke musim

Bukan air, perekat antar batu yang tersusun

Tapi darah para pecundang

mereka terkalahkan oleh  pedang

yang tak terhunus dan gaung sangkakala

suara itu bergema dari istana kaisar

ketika para buruh mesti bersimpuh 

dikaki panji-panji dinasti.

Para petani berhuma di sisi tembok

Agar setiap pagi burung-burung bernyanyi

bercerita tentang para selir raja yang berladang

Tanpa keringat diantara bunga-bunga


Di tembok ini,

Aku mengenal kekuatan dan kejayaan

Daya tahan dan ketahanan leluhur

kegagahan para ksatria penunggang kuda

keindahan, kemegahan dan nestapa 

Yang dihiasi oleh isak di keheningan

Para padri menulis buku suci peradaban

Dengan cinta dan tinta darahnya

Juga ditulisnya prosa hikayat raja dan jelata

Sambil menghitung lelehan darah

Yang menetes dari sela-sela dinding batu

Aku termangu bersama Putu

Ia, lantas menorehkan pena jadi sketsa 

Tentang sepenggal cerita tembok besar.


Di tembok ini.

Bebatuan mengular begitu panjang dan jauh

Terbaca dari rekam pandangku

perjuangan, kesetiaan, dan nganga luka

petilasan sejarah yang abadi di setiap hati

dan tak akan pudar oleh putaran waktu 

meski tak tersisa lagi cerita lama tentang 

riwayat Dinasti Qin, Dinasti Han dan Dinasti Ming

tapi siapa menjaga mimpi esok hari

di bebukitan hijau sisi Utara tersimpan

kisah misteri cinta  para puteri kaisar. Wanginya 

tersimpan di gerbang Shanhaiguan dan  Jiayuguan

air matanya, mungkin masih membasahi huma

Seirama perputaran, terbit dan terbenamnya matahari

Beijing 2012-Denpasar2021



****

MODERATO CINTA 


Ini pohon tua yang mengajarkan

Padaku bagaimana  menyangga makna

Yang tersimpan di  batang, dahan, dan dedaunan

Pada akar, kutemui keheningan dan kesetiaan.

Ia menjinakkan keras bumi

Dengan kelembutannya.

Aku mencium bauh tanah

Menyegarkan peparuku

Saat gerimis, membasahi bebatuan.

Di sana tersimpan kenangan

Tentang ceceran lapar

Sepanjang jalan tanpa tangis

Atau duka,  meski perih menoreh

pencernaan yang menyimpan misteri

dan merentang kisah

tentang kebaikan hati pedagang nasi

dan sesaji di beranda pura

Hari hari panas penuh haru

Ketika matahari menyentuh klorofil

Darinya aku belajar cara menyerap cahaya 

Menghidupkan senyawa  kehidupan

Saat stomata mengabarkan

Tentang udara dan rahasia kasih

Yang tak mudah kita pahami maknanya

Tapi, bisa kupetik tentang

cinta yang tak terbatas di semesta raya

Denpasar, 2023.

*Moderato adalah tempo dalam musik


***

GRAVE BUAT PABLO NERUDA

Pablo,

Pada siapa cinta kau berikan

Ketika bintang-bintang meredup

Tertutup mendung yang akan

Datang bersama maut

Dan angin dingin terhembus

dari arah kiri kau berdiri.

Kau bilang bara cintamu 

tak akan  padam oleh api

karena cintamu seperti

Kristal embun dan sewangi mawar

Kau juga bilang pelukanmu

Tak akan terlepas oleh kematian

Tapi, lingkar edar matahari

Melepaskannya.

Pablo, 

Aku ingin belajar padamu

Tentang kehidupan, makam dan jasad

Aku bertanya pada detak detik

Jam dinding yang tergantung

Di tembok rumah nelayan tua

Tapi, tak terjawab.

Pada keheningan malam,

Kubertanya pada debur ombak

Ketika bunga mawar terserak

Di atas makam tanpa aroma

Dan kau bangun dari dalam kubur

Apakah jukung kecil itu

Yang akan melabuhkan mu

di semenanjung sunyi

Denpasar, Pebruari 2023

*Grave adalah tempo dalam musik

***

SALVADOR DALI DALAM ALLEGRO

Dali, malam  ini aku bermimpi langit terbalik 

ada yang memindahkan laut Sanur ke awan 

ikan-ikan berenang di antara bintang-bintang.

Pepohonan bakau tumbuh terbalik dari angkasa 

akarnya menjuntai menyentuh kepalaku

saat kulihat orang-orang berjalan mundur 

dalam kehampaan tak terbatas

Dali, aku paham jam meleleh di atas meja pikiran 

sebab, waktu berbisik dalam bahasa yang terlupa

hanya aksara badani yang bisa kubaca

karena tari Bali mengajarkan padaku

membaca puisi tanpa kata dan mengeja

mimpi yang tercecer di tubuh cakrawala

di sana, tersimpan  selaksa rahasia fana

Dali, aku ingat lukisan Amang Rahman

tentang anak-anak yang meraih rembulan

dengan tali layang-layang anganannya

sambil main petak umpet di balik awan.

Aku terpana melihatnya.

hingga jejakku hilang jadi bayang

hanya tersisa kicau burung di pohon tua

Dali, di Taman Ismail Marzuki

burung-burung terbang hingga ke ujung langit 

saksikan Amang dan Ipe Ma’aruf mengadu garis

dengan tinta ramuan cahaya

yang terpantul dari mata kucing di gelap malam.

Akupun terjaga sebelum tersesat

dalam rahasia alam dan labirin imaji

yang tersembunyi.

Jakarta 1992 – Sanur, 2022.

Allegro adalah Tempo dalam music.

HARTANTO

Hartanto alias Gde Hariwangsa lahir di Surakarta, 1958. Menetap di Bali sejak 1980-an. Dia menulis puisi sejak SMP. Karyanya dimuat di Bali Post, NusaTenggara, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Tempo, Hai, Ceria, Basis, Femina, Wanita Indonesia, dan Jurnal Kebudayaan CAK. Buku puisi tunggalnya berjudul Ladrang (1995). Puisinya juga terhimpun dalam buku Dendang Denpasar, Nyiur Sanur (2012), Ibunda Tercinta (2021). Dia juga menulis buku seni rupa, antara lain Arie Smit Memburu Cahaya Bali (2000), Siluhet Perempuan (2000), Tree of Life (2018). Pernah bekerja sebagai wartawan majalah Matra. Belakangan dia memilih menjadi petani di kawasan Bali utara. (sumber biodata: basabali.org)

Klik di sini untuk membagikan artikel ini!

Share on facebook
Share on Facebook
Share on twitter
Share on Twitter
Share on linkedin
Share on Linkdin
Share on pinterest
Share on Pinterest

Berikan komentar atau tanggapan Anda di bawah!

Kabar Berita Selanjutnya