
Ilustrasi: Gemini
KUPU-KUPU
Sehampar taman dalam tubuhmu
Pernah merindukan kupu-kupu
Yang mengering dalam kotak kaca
Kini kau adalah kupu-kupu
Sekaligus taman bunga itu
Tapi kau membayangkan ulat
Pada selembar daun
Ulat yang pernah menghuni
Apel di taman itu
Pada senja terakhir yang kehilangan warna
Seorang perempuan menjelma kupu-kupu
Terbang lalu hinggap dalam jiwamu
Kini menari kupu-kupu itu
Pada sehampar taman
Sembari menghitung jejak waktu
Dalam tubuhmu
2025
***
KIDUNG CAPUNG
-untuk: Handy Saputra-
Enam capung terbang
Dari bentang kanvasmu
Warna-warni sayapnya
Menyusup dalam lukisanmu
Semburat hijau
Meneduhkan inti jantung
Percikan ungu
Meleleh ke relung jiwa
Seorang bocah berseru kepada rumpun perdu
Mengapa langit kehilangan biru?
Seekor capung menghinggapi kepalamu
Dua teratai merah merekah merayakan usiamu
Kenangan masa kanak
Menetes dari lukisan-lukisanmu
Mengalir ke tanah-tanah gersang
Mengalir ke jiwa-jiwa resah
Aku menadahnya dengan puisi
Yang kurangkai dari air mata Ibu
Orang-orang menyemburkan api petaka
Maka terbakarlah dunia
Maka terbakarlah kata-kata
Lenyaplah cinta
Jiwa-jiwa luka saling timpa
Anak-anak menatap langit negeri
Yang makin kelam dan ngeri
Ke mana cahaya pergi?
Seekor capung bersayap duka
Terbang ke dalam jiwamu
Mencari suaka
Mencari cinta
Yang lenyap dari dunia
2025
***
HUJAN
Asap rokokmu lenyap
Kau seperti kehilangan sayap
Di luar hujan menghibur daun
Daun tersenyum kepada tanah
Sumringah menerima hujan
Kau menyalakan sebatang rokok lagi
Malam makin menggigil
Bukan kau yang kedinginan
Tapi hujan
Kau bergegas ke kamar
Selimut kusut menyambutmu
Lebih kusut dari wajah kekasih
Hujan masih menari di halaman
Mimpimu tak pernah selesai
Menerjemahkan pagi
2025
***
BERDAMPINGAN
Hijau daun itu selalu membagi cahayanya
Tapi kita selalu tak bahagia
Kita saling berdiam diri
Mengunci mulut
Seraya menduga kapan langit berubah warna
Kita sepasang batu
Berdampingan di bawah teduh pohon
Selalu merasa paling kuat dan sempurna
Tak tahu waktu perlahan menggerus
Dan kita kehilangan cara bertahan
Lalu langit memang berubah warna
Tapi tidak hati kita
Sebab kita memang sepasang batu
Meski berdampingan
2025
***
DOA
Dari mulutmu doa-doa berhamburan
Namun doa makin asing di langit
Jiwa pasrah menerima hasrat
Garis tangan jadi teka-teki tak terjawab
Maka bisikkan pada malam
Rasa sedih yang membatu
Dalam setiap mimpi-mimpimu
Kau tahu kelepak kelelawar
Menggugurkan bunga jambu
Tapi doa-doa yang hambur
Dari mulutmu
Tak mampu mencapai langit
2025

WAYAN JENGKI SUNARTA
Lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mulai menulis puisi sejak awal 1990-an. Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa.
Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts, Majalah Arti.
Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah Jumantara (puisi; Pustaka Ekspresi, 2021), Solilokui (puisi; Pustaka Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi; Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka Ekspresi, 2018), Senandung Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi; Pustaka Ekspresi, 2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang Mengawini Keris (cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian Usai (puisi; Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa (cerpen; Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), Pada Lingkar Putingmu (puisi; Bukupop, 2005). Selain itu, puisi-puisinya juga tersebar dalam lebih dari seratus buku antologi puisi bersama.


